Beranda | Artikel
Menumbuhkan Optimisme Pada Anak
Senin, 2 April 2018

MENUMBUHKAN OPTIMISME PADA ANAK

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Anak-anak kaum muslimin perlu dilatih memiliki optimisme yang tinggi dan benar. Optimisme yang dibangun berdasarkan rajâˈ (sikap berharap), raghbah (semangat meraih cita-cita) dan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla.

Rajâˈ, raghbah dan tawakkal merupakan ibadah[1] yang amat penting bagi kehidupan manusia untuk meraih pahala dan meraih cita-cita.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang rajâˈ yang membuktikan bahwa ia termasuk ibadah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Maka barangsiapa yang mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengamalkan amal shalihdan tidak mempersekutukan dengan siapapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Juga firman-Nya:

أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Mereka mengharap rahmat Allâh, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. [Al-Baqarah/2:218]

Juga firman-Nya:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Orang-orang yang mereka seru (yang mereka jadikan tumpuan doa) itu, mereka sendiri justeru mencari jalan (wasîlah) langsung menuju Rabb mereka; (berlomba) siapakah di antara mereka yang lebih dekat kepada Allâh, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabb-mu itu adalah perkara yang harus ditakuti. [Al-Isrâ/17:57]

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn menjelaskan: Mencari jalan (wasîlah) menuju Allâh artinya mencari kedekatan diri kepada Allâh dengan melakukan peribadatan kepada-Nya dan memberikan kecintaan kepada-Nya. Pada ayat ini Allâh menyebutkan tiga pilar keimanan penting yang menjadi tumpuan, yaitu : cinta, takut dan harapan (rajâˈ ).[2]

Demikian pula raghbah, ia juga merupakan ibadah yang penting. Allâh Subhanahu wa Ta’ala antara lain berfirman :

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan (semangat) berharap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. [Al-Anbiyâ/21:90]

Apalagi tawakkal, jelas ia merupakan ibadah yang teramat penting, karena tawakkal merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Allâh Subhanahu wa Ta’ala antara lain berfirman :

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allâh sajalah hendaknya engkau bertawakkal, apabila kamu benar-benar beriman. [Al-Mâˈidah/5 : 23]

Pembinaan bagi tumbuhnya sikap rajâˈ, raghbah dan tawakkal, amat sangat penting ditanamkan pada diri anak-anak semenjak dini supaya semangat dan optimisme mereka kelak terbentuk secara utuh dalam rangka meraih cita-cita masa depan terbaik, yaitu cita-cita ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan hidup di akhirat. Anak-anak yang diharapkan menjadi generasi pantang putus asa.

Rajâˈ, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan harapan, hakikatnya adalah sesuatu yang mendorong dan memotivasi hati menuju hal yang disukainya, yaitu mendapat ridha Allâh dan kebahagiaan di negeri akhirat. Atau pengertian-pengertian yang senada.[3] Intinya rajâˈ adalah sikap berharap yang mendorong hati untuk bersemangat dalam meraih cita-cita.

Dan rajâˈ ini, asasnya adalah husnu zhan (berbaik sangka) terhadap Allâh dan terhadap kasih sayang-Nya, sehingga memangkas habis rasa putus asa. Karenanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi peringatan kepada umatnya:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلَاثٍ، يَقُولُ: «لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ. رواه مسلم  

Dari Jâbir  Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiga hari sebelum beliau wafat, bersabda: Janganlah seseorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berhusnu zhan (berbaik sangka) kepada Allâh.[HR. Muslim][4]

Menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah , sebenarnya rajâˈ atau harapan, terdiri dari tiga macam. Dua terpuji, dan satu tercela.

Dua yang terpuji adalah: Pertama, rajâˈ (harapan) nya seseorang yang berbuat ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla berdasarkan cahaya ilmu dari Allâh. Maka ia adalah orang yang mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Kedua, harapan seseorang yang berbuat dosa kemudian bertaubat, maka ia adalah orang mengharapkan ampunan, maaf, kebaikan, kemurahan dan santunan Allâh Azza wa Jalla .

Sedangkan rajâˈ yang tercela adalah, seseorang yang terus menerus meninggalkan ketaatan dan terus menerus berbuat kesalahan, namun ia berharap kasih sayang dan rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , tanpa mau berusaha. Ini adalah fatamorgana, angan-angan kosong dan harapan dusta.[5]

Itulah rajâˈ.

Adapun raghbah (semangat meraih cita-cita), hakikatnya mirip dengan rajâˈ. Bedanya, rajâˈadalah bentuk harapan besarnya, sedangkan raghbah adalah bentuk usahanya. Dengan demikian, raghbah sejatinya merupakan buah dari rajâˈ. Apabila seseorang punya harapan terhadap sesuatu, maka ia akan bersemangat melakukan usaha untuk mendapatkannya. Hubungan antara raghbah dengan rajâˈ, laksana hubungan antara lari dan takut. Orang yang mengharapkan sesuatu niscaya akan berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Demikian pula orang yang takut, maka ia akan lari dari apa yang ditakutinya.[6]

Artinya, suatu harapan tidak akan disebut harapan yang sebenarnya kalau tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata. Dan optimisme yang baik In syâˈAllâh akan terbentuk melalui pembinaan yang benar tentang rajâˈ dan raghbah. Dan hal ini akan menjadi sempurna dengan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla .

Pembinaan kearah itu adalah dengan memberikan penjelasan akan janji-janji Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang bertaqwa dan meberikan penjelasan akan ancaman-ancaman-Nya bagi orang-orang yang durhaka, melalui proses pengajaran dan pendidikan berkesinambungan secara bertahap berdasarkan al-Qurˈân dan Sunnah.

Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Syarhu al-Ushûl ats-Tsalâtsah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah , Dâr al-‘Aqîdah, cet. I, 1425 H/2004, hal. 47
[2] Madârij as-Sâlikîn Imam Ibnu al-Qayyim, Dâr Ihyâˈi at-Turâts al-‘Arabi, cet. II, th. 1421 H/2001 M, II/27
[3] Lihat beberapa pengertian yang kemukakan oleh Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn, op.cit. II/27
[4] Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Khalîl Maˈmûn Syîhâ XVII/206, no. 7160
[5] Lihat penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn, op.cit. II/28, dengan beberapa perubahan redaksional.
[6] Ibid. II/42


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8731-menumbuhkan-optimisme-pada-anak.html